Buku Muslim Preneur ini menggambarkan salah satu sisi kehidupan yang dijalani oleh Para Sahabat Nabi dalam kewirausahaan yang menjadikan mereka menjadi pengusaha yang sukses di dunia dan akhirat.
Umat Islam pada hari ini masih belum bisa lepas dari cengkeraman musuh yang bernama kemiskinan. Jika kita membaca data-data, baik dari Bank Dunia maupun data dari pihak lain, terkait angka kemiskinan di dunia, maka kita akan mendapati bahwa ternyata negara-negara yang besar populasi muslimnya mempunyai angka kemiskinan yang cukup tinggi. Termasuk tanah air kita Indonesia.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Tentu, jawabannya bisa begitu kompleks. Berkaitan dengan stabilitas politik, dan juga keamanan. Berkaitan dengan situasi kawasan, serta ekonomi global. Berkaitan pula dengan kualitas kebijakan para pemangku jabatan penting, yaitu pemerintah. Dan, terkait kualitas pengelolaan lembaga keuangan syariah.
Sekali lagi faktor penyebab timbulnya kemiskinan ini bisa saja amat kompleks. Walau demikian, ada dua faktor inti yang menjadi modal utama bagi bangkitnya kejayaan umat Islam melalui sektor ekonomi. Yang dimaksud ia faktor mentalitas dan faktor paradigma.
Karena boleh jadi, umat Islam didera kemiskinan yang cukup memprihatinkan berakar dari persoalan mental. Tak menutup kemungkinan, sebagian muslim memiliki mental inferior di hadapan kedigdayaan umat lain. Tidak percaya diri berhadapan dengan kaum yang pada saat ini ditakdirkan menggenggam kejayaan dunia.
Tak bisa dipungkiri bahwa kiblat kemajuan zaman ini ada di Barat yang notabene didominasi oleh non-muslim. Barangkali hingga ini kaum muslim masih silau dengan kemajuan mereka, sampai bersikap pesimis. Memakluni kemajuan dunia sebagai jatah takdir baik mereka, adapun jatah umat Islam adalah ketertinggalan dan kemiskinan
Itulah faktor mentalitas. Berikutnya faktor paradigma atau cara pandang. Harus diakui bahwa tak sedikit umat Islam yang memandang kekayaan duniawi tidak penting, namun yang penting adalah kekayaan di akhirat. Banyak yang berpikir bahwa biarlah kekayaan dunia ini dikuasai oleh orang-orang non-muslim, sedangkan kaum muslim tetap menjadi pemenang di akhirat.
Padahal, persepsi tersebut belum pasti benar. Bahkan mungkin paradigma seperti ini hanya dalih atau alibi dari ketidakberdayaan kita—kaum muslimin—atas dominasi bangsa Barat yang sekarang ini menguasai berbagai lini kemajuan dunia. Lantas, kita memaklumkan diri dengan mengatakan: “Biarlah kita miskin di dunia, yang penting kaya di akhirat.”
Saudaraku, benar bahwasanya urusan akhirat adalah urusan yang paling penting, harus diprioritaskan di atas urusan apa pun. Kebahagiaan di akhirat pun ialah tujuan hidup yang jauh lebih besar daripada kenikmatan dunia dengan segala isinya.
Akan tetapi, jikalau kita membuka kembali sejarah hidup baginda Rasulullah, maka akan kita dapat bahwa ternyata beliau dikelilingi banyak orang yang kaya raya, para tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, pengusaha-pengusaha sukses nan dermawan, dan beliau disegani oleh rakyat di negeri sendiri maupuan di luar negeri.
Istri pertama Rasulullah, yaitu Khadijah, dikenal sebagai seorang saudagar wanita ternama di kota Makkah. Kekayaan dan figurnya tak diragukan. Namanya masyhur (populer) tak hanya di Kota Makkah, melainkan juga di kawasan jazirah—maksudnya, Jazirah Arab.
Kemudian para Sahabat Rasulullah, ternyata juga terdiri dari individu yang kaya raya. Malah, tujuh dari sepuluh Sahabat yang dijamin masuk Surga adalah tokoh dengan kekayaan berlimpah. Mereka ini pengusaha yang dihormati oleh mitra-mitra dagangnya, baik di Makkah maupun di luar Makkah.
Jika kita merenungkan fakta sejarah ini, maka tentu kita tidak akan buru-buru menyatakan bahwa kekayaan duniawi itu sebagai urusan yang tidak penting. Kita tidak akan terburu-buru menegasikan kejayaan duniawi, lantas secara membabi buta mengatakan ia sebagai perkara yang sia-sia dan mencelakakan.
Tidak tepat bersikap demikian. Terlebih, Islam bukan agama yang mendikotomikan—memisahkan —dunia dan akhirat meski keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Bukankah kenyataannya sebelum kita bisa menggapai kebahagiaan di akhirat maka diharuskan untuk melakoni perjalanan hidup di dunia dengan baik?
Bukankah jika ingin berbahagia hidup di akhirat kita harus mampu berbahagia lahir-batin di dunia ini?
Sehingga, pada titik ini, kita menyadari bahwa dunia bukanlah tujuan, melainkan jalan menuju ke keabadian di akhirat. Artinya, dunia dan akhirat ini satu paket yang saling berkaitan, satu sama lain, tidak terpisahkan. Oleh sebab amal shalih selama di dunia itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan di akhirat. Begitu pula, karena berbuat maksiat selama di dunialah seseorang mendapat kesengsaraan di akhirat.
Sama saja seperti kekayaan dunia, ia hanyalah jalan, fasilitas atau media yang bisa mengantarkan kita kepada salah satu diantara dua muara kehidupan ini: kebahagiaan atau kesengsaraan di akhirat kelak.
Ada orang yang dengan kekayaannya bisa menggapai kepuasan hawa nafsu tanpa batas. Tidak peduli halal atau haram, selama sesuatu itu menyenangkan hati, dia tanpa ragu dan takut mengambilnya.
Sementara di lain pihak, ada juga orang yang dengan keberlimpahan harta yang dimilikinya, dia mendirikan lembaga pendidikan Islam yang menampung anak-anak yatim dan menyediakan fasilitas pendidikan secara gratis.
Dengan kekayaannya, dia berupaya mencetak anak-anak tersebut menjadi manusia-manusia masa depan yang bisa menegakkan izzatul Islam wal muslimin (yakni, kejayaan Islam dan kaum muslimin).
Dua orang di atas adalah potret orang sukses. Mereka sama-sama kaya raya. Namun, mereka berbeda dalam cara menyikapi kekayaan yang dimiliki. Pastinya, akan berbeda pula muara kehidupan keduanya di akhirat kelak.
Sengaja buku Muslim Preneur dihadirkan dengan tujuan mengulas lebih dalam ihwal kekayaan dunia serta paradigma umat Islam terhadapnya. Kiranya perlu dipupuk semangat baru atas dasar kesadaran bahwa kita pernah berada di puncak kejayaan dunia, dijadikan kiblat ilmu pengetahuan dunia, juga sebagai rujukan seluruh orang di dunia untuk belajar dan meningkatkan kapasitas diri.
Jangan sampai muslim diseluruh dunia terus-menerus terlena dan menganggap prestasi tersebut sebagai angin lalu. Kenangan yang telah usang, Namun, ia harus dijadikan batu lompatan agar bisa maju dan kembali seperti kondisi dahulu itu.
Buku Muslim Preneur ini sekaligus menyajikan secara terbuka ihwal pentingnya entrepreneurship, tentang jiwa wirausahawan. Yang ternyata itu pun bagian dari sunnah Nabi.
Berwirausaha atau berbisnis telah dipercontohkan beliau semasa hidupnya. Dan, ia dipercontohkan pula oleh para Sahabat beliau. Tinggal kita yang memutuskan, maukah berkaca dari kisah sukses dunia-akhirat mereka; ataukah kita memilih tetap berdiam diri dan berharap kesuksesan menghampiri kita tanpa keberanian menanggung segala risiko yang menyertainya?
Daftar Isi Buku Muslim Preneur
Pertama: Belajar Bisnis dari Sahabat Nabi
Totalitas Abu Bakar ash-Shiddiq
Profesionalisme Umar bin al-Khathab
Kedermawanan Utsman bin Affan
Kemandirian Abdurrahman bin Auf
Keberanian Zubair bin Awwam
Kedua: Fondasi Syar’i Berwirausaha
Bisnisku adalah Ibadahku
Bekerja Memenuhi Perintah Allah
Menjemput Rezeki yang Allah Jamin
Kekayaan Hanya Jalan, Bukan Tujuan
Ketiga: Langkah Sukses Pengusaha Muslim
Cermat Manfaatkan Peluang
Tekuni ATM, Hobi, Coba-coba
Buat Perencanaan dan Fokus
Lakukan Evaluasi secara Berkala
Giatkan Inovasi dan Investasi
Keempat: Manajemen Risiko Bisnis
Risiko Strategi
Risiko Operasional
Risiko Regulasi
Risiko Keuangan
Risiko Reputasi
Reviews
There are no reviews yet.